Pada
dasarnya manusia tertarik pada lawan jenisnya karena perasaan ingin bersama,
berkenalan atau saling menukar informasi, dsb. Kondisi ini biasanya muncul
ketika manusia melihat dan memandang lawan jenisnya yang berbeda dengannya;
misalnya, keadaan fisik yang ayu, molek, cantik atau gagah, ganteng dan tampan.
Hasil pandangan mata itu, kemudian menjadi hayalan manusia dengan
kesimpulan pikiran; “bila”, “andaikata”, “seandainya” aku bersama dia, kan dapat curhat, berinteraksi dan
berkomunikasi, sepertinya cukup menyenangkan hidup ini. Konteks inilah lambat
laun yang dilandasi niat baik untuk “memiliki” secara fisik seseorang dalam
kehidupan akan berubah kepada keadaan yang bersifat psikologis, yaitu suka
dalam bentuk suasana hati yang mendalam, cinta dan kasih sayang hingga
berkomitmen untuk membentuk keluarga. Ketertarikan manusia terhadap manusia
lain (laki-laki atau perempuan) dalam realitas adalah hal yang lumrah karena
manusia adalah makhluk yang keinginan (homo volens), begitu
pandangan kaum psikoanalisis.
Di sisi
lain, para ahli –utamanya psikolog sosial– menemukan adanya “sifat tertentu”
dalam diri manusia yang menyebabkan manusia tertarik kepada orang lain.
Sifat
tersebut biasanya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: pertama, faktor
situasi, misalnya; kondisi geografis, lingkungan, budaya, bahasa, agama, dsb. Kedua, faktor
kepribadian, seperti umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, harga
diri, selera, dsb. Namun, dari sejumlah variabel yang berlainan tersebut dalam
aplikasi interaksi sosial dan lain kasus di kehidupan ini dengan mudah
dilanggar oleh individu sebagai akibat dari; daya tarik fisik, kedekatan,
kemiripan dan keuntungan yang didapatkan individu yang bersangkutan. Sementara
perspektif Islam, melihat ketertarikan manusia terhadap manusia lain dalam
rangka mengaplikasikan konsep hablumminannas dalam realitas, sehingga dapat
memakmurkan bumi ini sebagai wujud pengabdiannya kepada Allah SWT tidak
terputus. Hal ini sesuai dengan gharizah
fithriyyah (naluri)
pada manusia, dimana antara lawan jenisnya saling butuh membutuhkan untuk
menumpahkan rasa kasih sayang, dan sekaligus sebagai realisasi penyaluran
kebutuhan biologisnya. Untuk mengarah kepada tujuan ini, maka manusia tertarik
untuk mengenali lebih jauh orang lain sehingga merasa cocok dan puas dalam
membentuk ikatan pernikahan. Karenanya selaras dengan konteks tersebut, tulisan
ini hendak mendiskusikan konsep ta’arufhingga
pembentukan keluarga menurut analisis psikologi Islam.
Pemahaman
mengenai istilah ta’aruf hanya dikenal dalam sistem
pendidikan Islam, yaituta’akhrafa –ya’krifu–ta’aruf, yang artinya:
mengenal, saling mengenal, hendak mengetahui atau melakukan pendekatan hubungan
(Louis Ma’luf, 1986). Berpijak
pada makna ini, maka konsepta’aruf adalah suatu pendekatan hubungan yang
dilakukan manusia untuk saling kenal mengenal (Mahmud Yunus, 1989). Konsep
ta’aruf merupakan suatu proses perkenalan
antara dua insan yang dibingkai dengan akhlak yang benar, yang di dalamnya ada
aturan main yang melindungi kedua pihak dari pelanggaran berperilaku atau
maksiat (Jundy/Majalah Izzah, No. 30/Th. 3, 19 Juli—18
Agustus 2002 ).
Bermuara
pada pandangan ini, maka konsep ta’aruf dapat dimengerti sebagai
konteks operasional islamis nan uptudate yang menggantikan kata “pacaran” dalam
mengenal calon pasangan sebelum membentuk keluarga.
Analogi
konteks ini, merupakan suatu jalan yang ditempuh manusia dalam upaya saling
kenal mengenal antara sama lain sebelum menikah. Kebermaknaan konsep ta’aruf dalam ajaran agama Islam diawali
dengan usaha saling mengenal antar satu sama lain, meskipun berbeda bahasa,
suku, dan bangsa. Firman Allah SWT dalam al-Qur’an berbunyi:
Artinya: “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujaraat: 13)
Sesuai
dengan firman Allah SWT ini, sesungguhnya manusia dapat mengambil pelajaran
yang berharga bahwa usaha dan dorongan untuk saling berinteraksi, berkomunikasi
dan membentuk pergaulan diantara sesama adalah usaha konsep ta’aruf dalam berbagai dimensi
pengertian, baik dalam memperkokoh ikatan persaudaraan antar manusia, membentuk
tali silaturrahmi, memperbanyak sahabat maupun dalam membina hubungan erat
untuk membentuk keluarga. Selain itu, penjelasan al-Qur’an dalam surat
Al-Hujaraat ayat 13 tersebut, juga perintah agar manusia dapat merealisasikan
konsepsi hablumminannas dipermukaan bumi ini. Keadaan
yang demikian memang sengaja diatur dan dikehendaki oleh Allah SWT, agar dengan
cara tersebut keberlanjutan hidup dan kehidupan umat manusia tidak terputus
ditelan zaman dan tidak punah di makan waktu sampai pada saat Yang Maha Kuasa
Pencipta jagad raya ini menghendaki berakhirnya kehidupan ini (kiamat). Namun,
bagaimana metode aplikasi konsepta’aruf yang digariskan Islam, tentu saja
melalui jalan yang benar dan lurus yang berlandaskan pada sikap hidup, perilaku
dan tindakan yang baik dan mulia (akhlakul karimah). Dengan
cara ini kehidupan keluarga yang akan dibentuk dapat merefleksikan wujud
keta’atan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Khusus terkait dengan usaha manusia
untuk membentuk keluarga, aplikasi konsep ta’aruf akan sangat memainkan peranan
penting dalam kehidupan pribadi muslim sehingga kesimpulan akhir yang diambil
masing-masing pihak dapat dijadikan key
worddalam perjalanan kehidupan keluarga ke depan.
Sumarjati
Arjoso (Sanusi, et.all, 1996), menggambarkan beberapa hal penting yang perlu
diwacanakan dalam perkenalan melalui konsep ta’aruf sebelum mengambil keputusan untuk
menikah, yaitu; (1) perkenalan tentang diri pribadi masing-masing, (2) mengenal
keluarga calon pasangan, (3) mengenal seks (dalam artian kesehatan dan kesucian
kehormatan) calon pasangan, (4) mengenal cita-cita kehidupan pasangan dan
mengenal agama (keyakinan) yang dianut oleh calon pasangan, serta (5) mengenal
adat istiadat dan kebudayaan calon pasangan.
Lebih
jauh, Sumarjati Arjoso (Sanusi, et.all, 1996) memberi alasan bahwa topik-topik
tersebut dimentalkan karena suatu perkawinan bukan semata-mata memadukan jiwa
dan tubuh dua insan yang berbeda jenis saja dalam rangka menyalurkan kebutuhan
biologis atau hidup bersama, namun juga menyangkut suatu rangkaian tali
hubungan antara anggota keluarga besar dan jaringan yang lebih besar lagi,
yakni masyarakat. Dalam bahasa berbeda, KH Rahmad Abdullah, menyatakan bahwa
dengan saling kenal mengenal calon oleh masing-masing pasangan secara mendalam,
maka pengertian, pengetahuan dan keputusan untuk menyatu dalam suatu ikatan
suci (pernikahan) akan menjadi bermakna sebagai bagian dari ibadah untuk
menjalankan perintah agama (Majalah Izzah, No.
30/Th. 3, 19 Juli—18 Agustus 2002). Di sisi lain, perlu diketahui juga bahwa ta’aruf bukan satu-satunya harga mati bagi
seseorang untuk melangsungkan perkawinan, namun konsep ta’aruf akan memberi alternatif
bagi seseorang agar dapat mengenali dan mengetahui kepribadian, adat istiadat,
latar belakang budaya, kondisi sosial ekonomi, tujuan pembentukan keluarga atau
keadaan keluarga masing-masing pasangan sehingga keputusan final untuk menikah
tidak menjadi beban mental di kemudian hari. Proses pengenalan yang diajarkan
oleh ta’aruf tidak ada paksaan dan pemaksaan, yang
ada adalah realitas dan kenyataan. Bila sesuai atau cocok dilanjutkan ke
jenjang pernikahan, dan bila tidak merasa cocok tidak menjadi suatu hinaan yang
menyebabkan pasangan merasa malu atau dipermalukan.
Dalam
penerapannya, bagaimana konsep ta’aruf dilaksanakan untuk mencapai
suau hasil yang bermakna dan bernilai ibadah? Secara historis dan praktik ta’aruf tidak memiliki aturan operasional
yang disepakati bersama oleh para ulama dan masyarakat muslim, yang ada adalah
bagaimana batasan-batasan esensial yang disepakati sehingga tidak menyalahi
hukum agama dan hukum sosial. Dalam praktik ta’aruf yang sering terjadi di realitas
masyarakat muslim memiliki banyak variasi model aplikasi (graduasi
model ta’aruf), seperti perkenalan melalui sahabat,
pengawasan orang tua atau orang kepercayaan keluarga pasangan, pertemuan
sendiri tanpa disengaja, berkenalan melalui suatu kegiatan sosial, perjodohan,
dan lain sebagainya.
Karenanya
dengan aplikasi konsep ta’aruf yang benar sesuai anjuran Islam
diharapkan manusia dapat menggapai suatu pengertian bahwa perkawinan adalah
benar-benar suatu ikatan suci dalam mengembangkan kehidupan umat manusia dipermukaan
bumi ini. Selain itu, juga akan memberi tawaran pada masing-masing calon untuk
memahami, menilai, dan menganalisis secara objektif dan subjektif sehingga
kesiapan untuk menerima pasangan menjadi pilihan yang tepat. Proses
perkenalan yang dilakukan sebetulnya bertujuan untuk saling mengetahui
sejauhmana kesungguhan niat masing-masing pihak untuk berkeluarga, mengenal
kepribadian antar pasangan dan menjaga hubungan persaudaraan di antara sesama
muslim. Karena itu, nilai-nilai ta’aruf yang berlandaskan pada konteks
ajaran Islam akan membuka wacana dan wawasan baru bagi setiap pasangan bahwa
perkawinan adalah bukanlah kehidupan sesaat, namun kehidupan yang penuh
tanggung jawab selama hayat dikandung badan.