Sejarah telah membuktikan bahwa emas dan perak merupakan alat tukar paling stabil yang pernah dikenal dunia.
Peradaban
Islam di era keemasan selama berabad-abad menjelma menjadi salah satu kekuatan
perekonomian dunia. Tak heran, jika pada masa itu, kekhalifahan Islam sudah
memiliki mata uang sendiri bernama dirham (koin perak) dan dinar (koin emas).
Dengan menggunakan kedua mata uang itu, perekonomian di dunia Islam tumbuh
dengan begitu pesat.
Sejarah
penggunaan perak dan emas sebagai alat pertukaran, sejatinya telah berkembang
jauh sebelum Islam hadir. Para peneliti sejarah Dirham menemukan fakta bahwa
perak sebagai alat tukar sudah digunakan pada zaman Nabi Yusuf AS. Hal itu
diungkapkan dalam Alquran, surat Yusuf ayat 20. Dalam surat itu tercantum kata
darahima ma’dudatin (beberapa keping perak).
”Dan
mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah yakni beberapa dirham saja, dan
mereka tidak tertarik hatinya kepada Yusuf,” (Alquran, surat 12:20). Tiga
peneliti jejak dirham yakni MSM Syaifullah, Abdullah David, dan Muhammad
Ghoniem dalam tulisannya berjudul Dirham in the Time of Joseph? menuturkan pada
masa itu peradaban Mesir Kuno telah menggunakan perak sebagai alat tukar.
Sejarah
mencatat, masyarakat Muslim sendiri mengadopsi penggunaan dirham dan dinar dari
peradaban Persia yang saat itu dipimpin oleh Raja Sasan bernama Yezdigird III.
Bangsa Persia menyebut mata uang koin perak itu dengan sebutan drachm. Umat
Islam mulai memiliki dirham dan dinar sebagai alat transaksi dimulai pada era kepemimpinan
Khalifah Umar bin Khattab RA.
Meski
begitu, Rasululah SAW sudah memprediksikan bahwa manusia akan terlena dan
tergila-gila dengan uang. Dalam salah satu hadits, Abu Bakar ibnu Abi Maryam
meriwayatkan bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Masanya akan tiba
pada umat manusia, ketika tidak ada apapun yang berguna selain dinar dan
dirham.” (Masnad Imam Ahmad Ibn Hanbal).
Pertama
kali umat Islam menggunakan dirham pada tahun 642 M atau satu dasawarsa setelah
Rasulullah SAW wafat. Khaifah Umar bin Khattab memutuskan untuk menggantikan
drachma dengan dirham. Sedangkan koin dirham pertama kali dicetak umat Islam
dicetak pada tahun 651 M pada era kepemimpinan Utsman bin Affan. Dirham pertama
itu mencantumkan tulisan bismalah.
Laiknya
drachm, dirham berbentuk ceper serta tipis. Diameternya mencapai 29 mm dan
beratnya antara 2,9 – 3,0 gram. Dari sisi berat, dirham lebih ringan dari
drachm yang mencapai 4 gram. Sejak itulah, tulisan ‘bismilah’ menjadi salah
satu ciri khas koin yang dicetak oleh peradaban Islam.
Selain
itu, koin dirham-dinar yang dicetak umat Islam pada masa keemasan mencantumkan
nama penguasa atau amir atau khalifah. Fakta sejarah menunjukan bahwa
kebenyakan kepingan dirham dan dinar yang dicetak pada masa Khulafa Arrasyidin
mencantumkan tahun Hijriyah sebagai penanda waktu koin dirham atau dinar itu
dicetak.
Pemerintahan
Muslim di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab pun telah menetapkan
standar koin dirham dan dinar. Berdasarkan standar yang telah ditetapkan, berat
7 dinar setara dengan 10 dirham. Khalifah Umar bin Khattab pun telah menetapkan
standar dinar emas yakni memakai emas dengan kadar 22 karat dengan berat 4,25
gram.
Sedangkan
dirham perak haruslah menggunakan perak murni dengan berat 2,975 gram.
Keputusan itu telah menjadi ijma ulama pada awal Islam dan pada masa para
sahabat dan tabi’in. Sehingga menurut syari’ah, 10 dirham setara dengan 7 dinar
emas. Hasil ijma itu menjadi pegangan, sehingga nilai perbandingan dinar dan
dirham bisa tetap sesuai.
Namun,
pada tahun 64 H/684 M, untuk pertama kalinya nilai dirham berkurang. Hal itu
terjadi akibat keputusan ‘Ubaid Alih ibn Ziyad untuk mencampurkan logam lain
pada dirham. Sepuluh tahun kemudian, di era kepemimpinan Khalifah Abdalmalik,
mulai dicetak koin emas berbobot 4,4 gram dengan mencantumkan tulisan ‘Dinar’.
Tiga
tahun kemudian, kekahlifahan Islam di bawah kepemimpinan Abdalmalik kembali
mencetak cetak lagi dinar yang bobotnya berubah menjadi 4,25 gram — mengikuti
standar yang ditetakan Khalifah ‘Umar bin Khattab RA. Pada tahun 75 H/695 M,
Khalifah Abdalmalik memerintahkan Al-Hajjaj untuk mencetak dirham dan
menggunakan standar yang ditetapkan di era Umar bin Khattab.
Koin
perak bertulisan ‘dirham’ itu berbobot 2.975 gram dan berdiameter 25 – 28 mm.
Setiap koin yang dicetak pada saat itu bertuliskan kalimat tauhid yakni:
”Allahu ahad, Allahu samad”. Sejak saat itu, dilakukan penghentian penggunaan
gambar wujud manusia dan binatang dari mata uang peradaban Islam itu. Sebagai
gantinya digunakan huruf-huruf.
Dinar
dan dirham lazimnya berbentuk bundar. Selain itu, tulisan yang tercetak pada
dua sisi koin emas dan perak itu memiliki tata letak yang melingkar. Pada satu
sisi mata koin tercantum kalimat ‘tahlil’ dan ‘tahmid’, yaitu:”La ilaha
ill’Allah’ dan ‘Alhamdulillah’. Sedangkan di sisi mata koin sebelahnya tertera
nama penguasa (amir) dan tanggal pencetakkan. Selain itu, terdapat suatu
kelaziman untuk menuliskan shalawat kepada Rasulullah SAW dan ayat-ayat Alquran
dalam koin dirham dan dinar itu.
Mata
uang dinar dan dirham pun menjadi mata uang resmi dinmasti maupun kerajaan
Islam yang tersebar di berbagai penjuru. Penggunaan dinar dan dirham perlahan
mulai menghilang setelah jatuhnya masa kejayaan kekhalifahan Islam. Ketika
dunia dilanda era kolonialisme Barat, mulailah diterapkan penggunaan uang
kertas.
Sejarah
telah membuktikan bahwa emas dan perak merupakan alat tukar paling stabil yang
pernah dikenal dunia. Sejak awal sejarah Islam sampai saat ini, nilai dari mata
uang Islam yang didasari oleh mata uang bimetal ini secara mengejutkan sangat
stabil jika dihubungkan dengan bahan makanan pokok. Nilai inflasi mata uang ini
selama 14 abad lamanya adalah nol. Adakah mata uang yang stabil seperti itu
saat ini?
·
Uang Koin di Era Kekhalifahan
1. Koin Kekhalifahan Umayyah (661 M – 750 M)
Di
awal kekuasaannya, Dinasti Umayyah menggunakan koin perak Sassanin di wilayah
Irak dan Iran. Sedangkan, di Suriah dan Mesir kehalifahan Umayyah menggunakan
koin emas dan tembaga. Sebagai bagian dari upaya untuk menyatukan
wilayah-wilayah yang dikuasainya, Khalifah Abdalmalik bin Marwan (685 M – 705
M) mulai mencetak koin emas pada tahun 961 M.
Di
pinggiran koin emas itu tertulis kalimat bismilah dan syahadat. Dua tahun
berikutnya, Dinasti Umayyah mencetak koin perak atau dinar. Dalam koin itu
tercantum kalimat bismilah. Koin emas pada zaman itu dicetak secara khusus di
Damaskus – ibu kota Dinasti Umayyah. Sedangkan, koin perak dan tembaga dicetak
di kota-kota yang dikuasai Umayyah. Pada era khalifah selanjutnya, Dinasti
Umayyah mencetak dinar yang bernilai setengah dan sepertiga dinar. Ukuran dan
beratnya jauh lebih kecil dan ringan dengan uag koin bernilai satu dinar.
Setelah menguasai Afrika Utara dan Spanyol – penguasa Umayyah mulai membangun
percetakan uang koin di provinsi itu. Khalifah pun bertanggung jawab untuk
memastikan kemurnian dan berat koin yang dicetak.
2. Koin
Kekhalifahan Abbasiyah (750 M – 1258 M)
Ketika kekuasaan kekhalifahan
Umayyah jatuh, percetakan koin di Damaskus pun ditutup. Di era awal kekuasaannya,
Dinasti Abbasiyah mulai mencetak koin di Kufah – ibu kota pertama Abbasiyah.
Khalifah Al-Mansur pun mulai membangun Baghdad dan mendirikan percetakan dirham
di kota itu. Koin emas mulai dicetak pada era kekuasaan Khalifah Harun
Ar-Rasyid yag naik tahta pada tahun 786 M. Harun mencetak koin emas atas nama
gubernur Mesir. Pada masa itu, Abbasiyah memiliki dua tempat percetakan uang,
yakni di Baghdad serta di Fustat – Kairo Tua. Percetakan koin di Mesir
terbilang produktif. Setiap cetakan koin dari provinsi itu selalu
mengatasnamakan gubernur yang didedikasikan bagi khalifah. Khalifah Al-Ma’mun
(813 M) yang menggantikan Harun Ar-Rasyid mulai mencetak beragam jenis koin.
Dengan cita rasa artistik yang tinggi, Al-Ma’mun memperbaiki tampilan koin.
Sehingga koin yang dicetak tampak lebih indah. Apalagi, tulisan yang tertera
pada koin menggunakan tulisan indah khas Kufah atau Kufi.
3. Koin
Andalusia (711 M – 1494 M)
Berbeda
dengan wilayah Arab lainnya yang ditaklukkan Islam yang menggunakan koin
penguasa sebelumnya, penguasa Islam mencetak khusus koin emas yang baru ketika
menguasai Spanyol pada 711 M. Tulisan yang tercantum dalam koin itu adalah
huruf latin. Dinar khas Andalusia itu dicetak secara langsung di kota itu. Pada
tahun 720 M, koin Arab asli pertama kali masuk ke wilayah itu. Gaya dan tulisan
yang tercantum dalam koin itu menandakan bahwa dinar itu berasal dari Arab
Afrika Utara yang dicetak setahun sebelumnya.
Muslim
di Andalusia juga mulai memakai koin yang bernilai setengah dinar yang dicetak
di damaskus pada 719 M. Koin emas terakhir yang dicetak di Andalusia dicetak
pada era Nasrid Granada (1238 M – 1492 M).
4. Koin
Kekhalifahan Fatimiah (909 M – 1171 M)
Tiga khalifah pertama dari
Kekhalifahan Fatimiyah yang berkuasa dari tiga ibu kota berbeda yakni,
Quayrawan, Al-Mahdiya, dan Sabra-Mansuriyah mencetak koin emas dan perak sesuai
dengan kebiasaan ortodok Sunni. Pada tahap awal, dinar yang dicetak Al-Mahdi
mengikuti model dan ukuran serta desain yang digunakan Dinasti Aghlabid. Pada
tahun 912 M, dinasti itu mulai mencetak dinar yang ringan dan berukuran lebih
besar dengan menggunakan tulisan indah Kufi.
Pada
tahun 922 M, percetakan uang dipindahkan ke Al-Mahdiyah dan lalu ke
Al-Mansuriyah. Khalifah Al-Qa’im pada tahun 934 M mulai mengganti desain dan mulai
mengadopsi tulisan indah Kufi. Koin yang bernilai seperempat dinar juga dicetak
dinasti itu dari wilayah kekuasaannya di Sicilia. Ciri khas koin Fatimiyah yang
beraliran Syiah adalah pernyataan yang mengungkapkan pertaliannya dengan Ali
bin Abi Thalib.
·
Awal munculnya uang kertas
Untuk
pertam kali, uang kertas sudah ada pada tahun 910 M di China. Awalnya mereka
menggunakn uang kertas yang ditopang oleh emas dan perak 100%. Namun, pada abad
ke-12 M, china sudah menerbitkan uang kertas yang tidak bisa diterbitkan
ditukar sama sekali dengan emas dan perak. Di daratan Eropa, uang kertas mulai
diterbitakan pada abad ke-17 M. Swedia misalnya menerbitkan uang kertas pada
tahun 1661 M. langkahnya siikuti oleh Inggris, Belanda, dan Negara-negara Eropa
lainnya.
Pada
awal penerbitannya, Negara yang mengeluarkan uang kertas senantiasa menopang
sumber nilai uang pada emas dan perak.mereka mematok nilai nominal uangnya
dengan berat tertentu dari logam emas atau perak.
Dalam
perkembangannya, Negara-negara tersebut mulai mendefaluasi nilai mata uangnya
terhadap emas dan perak yang menjadi sandar.
Dan
lambat tapi pasti, pada akhirnya mereka melepaskan sama sekali patokan mata
uang kertas mereka terhadap emas dan perak. Artinya, mereka hanya mencetak mata
uangnya dengan nilai nominal yang tidak dapat ditukarkan atau dijamin dengan
emas.
heheheh..
BalasHapusbaru sanggup nuker dirham..